× -bahasa-
sound.png[klik to on/off Audio] buat portalmu dan expos karya raya mu ke seluruh dunia! #karyaraya [Klik to Login or Register]
×

view_list1.png Portall   view_list1.png Artikel   view_masonry.png Galeri   view_grid.png Cerita   view_list2.png Video  
×
  • url:
×
×
×
7 0 0 0 0 0
7
   ic_mode_light.png

Spesies burung paling misterius di Indonesia

Berikut ini Spesies burung paling misterius di Indonesia



1. Sikatan Aceh


Sikatan Aceh atau Ruck’s Blue Flycathcher (Cyornis ruckii) termasuk salah satu burung paling misterius di Sumatera. Sejak pertama kali ditemukan tahun 1917-1918 hingga saat ini, spesies ini tidak pernah terlihat lagi. Hanya empat specimen di Paris dan Leiden yang menjadi bukti bahwa burung ini pernah ada.



Gambar 1. Sikatan Aceh. Jantan (kiri) dan betina (kanan).



Satu specimen didapatkan oleh August van Heijst, seorang kolektor berkebangsaan Belanda pada tahun 1918, di daerah Tuntungan yang saat ini termasuk wilayah Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan, Sumatera Utara. Satu specimen lainnya ditemukan setahun sebelumnya di Delitua yang termasuk wilayah Deli Serdang, Sumatera Utara.


Dua specimen lainnya dilaporkan berasal dari Semenanjung Malaysia. Namun, asal-usulnya diragukan karena para ahli menganggap Sikatan Aceh termasuk burung endemik Sumatera


Sikatan Aceh termasuk jenis burung pemakan serangga berukuran kecil (17 cm), Bulunya didominasi bulu berwarna biru. Pada burung jantan, kepala, tenggorokan, dan dada biru sedangkan tunggir dan penutup ekor atas biru berkilap. Burung betina tubuh bagian atasnya berwarna coklat-merah bata dengan tunggir dan ekor merah bata serta dada merah karat hingga keputih-putihan pada perut.


Meski keberadaannya tak pernah dilaporkan lagi setelah lebih dari 100 tahun, IUCN masih menganggap Sikatan Aceh berstatus kritis (critically endangered), suatu status keterancaman tertinggi sebelum burung ini benar-benar dinyatakan punah.



  1. Tokhtor Sumatera


Tohktor Sumatera (Sumatra Ground-cuckoo) pertama kali dideskripsikan oleh Salvadori seorang ahli Zoologi Italia pada tahun 1879 dengan nama ilmiah Carpococcyx viridis. Burung endemic Sumatera ini kemudian dianggap satu spesies dengan Tokhtor Kalimantan sehingga keduanya diberi nama nama yang sama, yaitu: Tokhtor Sunda.


Pengetahuan tentang Tokhtor Sumatera hanya diketahui dari delapan awetan taxidermi yang tersimpan di museum Eropa dengan specimen paling akhir tercatat pada tahun 1916. Sejak saat itu, keberadaan burung ini di daerah asalnya tak pernah dilaporkan lagi.


Butuh waktu 81 tahun hingga laporan keberadaan Tokhtor Sumatera muncul kembali. Burung ini berhasil difoto oleh seorang rimbawan Indonesia, Andjar Rafiastanto, saat melakukan kegiatan proyek inventarisasi dan monitoring hutan (kerjasama pemerintah RI dengan Uni-Eropa) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan pada bulan November 1997.


Pada tahun 2000, berdasarkan hasil riset, Tokhtor Sunda dipecah menjadi dua spesies, yaitu Tokhtor Sumatera (Carpocoocyx viridis) dan Tokhtor Kalimantan (Carpococcyx radiceus).


Keberadaan Tokhtor Sumatera dilaporkan kembali dari foto kamera jebak yang dipasang untuk memonitor populasi harimau Sumatera di Taman Nasional Kerinci Seblat pada tahun 2006.



Gambar 2. Tokhtor Sumatera terjebak kamera trap di Taman Nasional Batang Gadis, SUmatera Utara.



Pada bulan Januari 2007, barulah tim survei satwa liar dari Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) berhasil menangkap hidup-hidup Tohktor Sumatera. Saat itu, burung langka ini terjebak dalam perangkap ayam hutan.


Tahun 2017, foto individu Tokhtor Sumatera kembali diperoleh melalui kamera jebak di Taman Nasional Batang Gadis di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Antara tahun 2007-2010, 5 insiden kemunculan Tokhtor Sumatera juga dilaporkan.


Burung Tokhtor sumatera merupakan burung penghuni permukaan tanah dengan ukuran tubuh yang besar mencapai 60 cm. Kaki dan paruh berwarna hijau. Mahkota hitam, sedangkan mantel, bagian atas, leher samping, penutup sayap dan penutup sayap tengah berwarna hijau pudar.


Bagian bawah tubuh berwarna coklat dengan palang coklat kehijauan luas. Sayap dan ekor hitam kehijauan mengilap. Tenggorokan bawah dan dada bawah hijau pudar, bagian bawah sisanya bungalan kayu manis, sisi tubuh kemerahan. Kulit sekitar mata berwarna hijau, lila dan biru.


Tohktor Sumatera termasuk burung pemalu dan sangat sensitif dengan kehadiran manusia sehingga sulit dijumpai. Hidup di hutan primer dataran rendah dengan elevasi 300-700 mdpl. Burung ini jarang terbang dan diketahui lebih suka berjalan menjelajahi dasar hutan untuk mencari makanannya berupa cacing, larva, serangga, kadal, katak, ular kecil dan hewan lainnya.


Sampai saat ini, populasi Tokhtor Sumatera diperkirakan tidak lebih dari 250 ekor, dengan luas persebaran 26.000 km persegi di kawasan Pegunungan Barisan, Sumatera.


Berkurangnya hutan dan banyaknya jerat ayam hutan yang dipasang pemburu membuat populasi burung ini kian terancam. Oleh karena itu, IUCN menetapkan populasi burung ini berstatus kritis di alam (critically endangered = CR).



  1. Merpati Hutan Perak


Merpati Hutan Perak atau Pergam Perak (Silvery Pigeon) Ducula argentina adalah sejenis burung merpati yang mendiami kawasan pesisir Malaysia, Kalimantan barat dan Sumatera termasuk Kepulauan Natuna dan pulau-pulau kecil di Selat Karimata.


Habitat Merpati Hutan Perak mencakup hutan pantai dan mangrove. Burung ini seringkali ditemukan terbang bersama-sama dalam kelompok besar dan berpindah-pindah antar pulau atau sepanjang pesisir pantai untuk mencari pohon yang sedang berbuah. Kadang-kadang bercampur dengan jenis merpati lainnya seperti Pergam laut.


Merpati Hutan Perak pernah dianggap punah sebelum ditemukan kembali pada tahun 2008 di Pulau Masokut. Foto dari individu burung yang ditemukan di Kepulauan Simeulue memperkuat bukti bahwa burung ini benar-benar masih ada. Meski demikian, keberadaan burung ini di daerah sebarannya masih menjadi misteri.



Gambar 3. Merpati Hutan Perak



Jika dilihat secara sepintas penampilan Merpati hutan perak mirip Pergam laut namun ukurannya lebih kecil. Bulu selalu berwarna abu-abu keperakan pucat, dengan sisa-sisa hitam dan ujung bulu ekor.


Kadang-kadang terdapat kilau kehijauan pada bulu di bagian belakang leher. Bagian hitam pada ekor memiliki panjang yang sama di semua bulu. Pada Pergam Laut bagian ini membentuk segitiga hitam yang mengarah ke depan di bagian bawah ekor.


Ciri khas Merpati Hutan Perak terletak di kepala dengan dahi cekung, mata merah tua atau keunguan yang mencolok dan mata, dan paruh yang lebih gelap di bagian dasar, menjadi ungu kehitaman dengan ujung hijau apel pucat. Kaki berwarna abu-abu kebiruan, berbintik-bintik dengan jumlah warna merah yang bervariasi.


Saat ini, individu Merpati Hutan Perak sudah jarang dijumpai. Beberapa ahli memperkirakan burung ini telah punah dari banyak daerah pesisir yang dulunya menjadi wilayah jelajahnya. Oleh sebab itu, IUCN menetapkan status kritis (critically endangered – CR) untuk burung ini.



  1. Trulek Jawa


Trulek Jawa (Vanellus macropterus) adalah burung lahan basah yang menghuni rawa-rawa dan delta sungai di daerah pesisir pulau Jawa. Burung ini diperkirakan juga menyebar hingga pesisir Nusa Tenggara Timur dan pesisir timur Sumatera.


Berukuran sedang, sekitar 28 cm dengan kaki jenjang. Bulunya berwarna coklat keabuan dengan kepala hitam. Punggung dan dada coklat keabuan, perut hitam, tungging putih. Bulu-bulu sayap terbang hitam, ekor putih dengan garis subterminal hitam lebar.


Terdapat taji hitam pada bagian lengkung sayap. Iris coklat, paruh hitam, tungkai hijau kekuningan atau jingga. Satu hal yang khas dari burung ini adalah gelambir putih kekuningan yang menggantung di atas paruhnya.



Gambar 4. Trulek Jawa. Sumber: Naturalis, Leiden.



Trulek Jawa sering berada di sekitar daerah berair (tepi sungai, muara sungai, dan rawa) namun tidak menyukai air. Sering terlihat justru sedang bertengger di tempat kering di sekitar lahan basah seperti ranting, bebatuan, dan rerumputan. Makanan burung endemik ini antara lain kumbang air, siput, larva serangga dan biji-bijian tumbuhan air.


Meski terdapat beberapa laporan kemunculannya di pulau Jawa beberapa dekade terakhir, saat ini, status Trulek Jawa masih menjadi misteri sejak terakhir kali dilaporkan di delta sungai Citarum pada tahun 1940. Tahun 1994-1996, IUCN sempat menetapkan Trulek Jawa berstatus punah, sebelum menurunkan statusnya menjadi kritis (critically endangered) pada tahun 2000. Setelah 80 tahun, penampakan burung ini di alam belum pernah dilaporkan lagi.



  1. Pelanduk Kalimantan


Pelanduk Kalimantan (Black-browed Babbler) Malacocincla perspicillata pertama kali dideskripsikan oleh Bonaparte seorang naturalis asal Perancis tahun 1850 dari satu spesimen bertarikh 1843-1848. Asal mula spesimen ini tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan berasal dari Martapura atau Banjarmasin.


Setelah dideskripsikan, tidak pernah lagi ada laporan yang menunjukkan kemunculan burung ini di daerah sebarannya. Burung Pelanduk Kalimantan seperti raib ditelan bumi dan seolah-olah tak pernah ada. Begitu misteriusnya burung ini, hingga membutuhkan waktu 170 tahun, untuk ditemukan kembali.


Pada tanggal 5 Oktober 2020, Muhammad Suranto dan Muhammad Rizky Fauzan, berhasil menangkap seekor burung aneh di sebuah hutan di Kalimantan tenggara. Burung ini ditangkap setelah beberapa kali terlihat, saat mengunjungi hutan tersebut. Burung ini pun kemudian di foto untuk proses identifikasi.



Gambar 5. Pelanduk Kalimantan. Sumber Muhammad Fauzan R.



Burung yang ditemukan kemudian diketahui sebagai Pelanduk Kalimantan yang telah lama hilang setelah dibandingkan dengan foto awetan holotype yang ada di situs Oriental Bird Images.


Burung tangkapan ini memiliki penampilan gempal dengan ekor pendek dan paruh kokoh sesuai dengan burung holotipe. Tubuh bagian atas berwarna cokelat tua, sedangkan bagian bawah hingga dada berwarna keabu-abuan dengan guratan putih halus.


Penampakan wajah burung sangat khas, dengan mahkota berwarna coklat berangan, dibatasi oleh garis mata hitam lebar yang membentang melintasi malar hingga ke tengkuk dan leher. Iris berwarna merah tua dan kakinya berwarna abu-abu tua. Dengan demikian, hanya warna paruh, warna kaki dan warna mata yang berbeda dengan holotype.


Sedikitnya informasi yang tersedia menyebabkan IUCN belum menetapkan status keterancaman burung ini (data deficient-DD).



  1. Celepuk Siau


Celepuk siau (Otus siaoensis) dideskripsi oleh Schlegel tahun 1873 dari sebuah sampel burung yang dikoleksi dari pulau Siau tahun 1866. Sejak saat itu, nasib burung ini di daerah asalnya berselimut misteri karena tak pernah terlihat lagi hingga saat ini.



Gambar 6. Celepuk Siau



Celepuk Siau merupakan burung hantu berukuran kecil hingga sedang. Termasuk karnivor sejati dan lebih aktif pada malam hari sehingga cukup sulit diamati. Berdasarkan informasi dari penduduk setempat, habitat burung ini diperkirakan berada di hutan sekitar Danau Kepetta yang terletak di bagian Selatan Pulau Siau.


Populasinya yang sangat kecil, daerah sebaran yang sangat terbatas serta hilangnya habitat akibat penebangan hutan menjadi lahan budidaya membuat IUCN memasukkan burung endemik pulau Siao ini dalam kategori kritis (critically endangered-CR).



  1. Seriwang Sangihe


Seriwang Sangihe (Eutrichomyias rowleyi) pertamakali dideskripsikan oleh Meyer seorang naturalis berkebangsaan Jerman pada tahun 1878. Nama rowleyi didedikasikan untuk George Dawson Rowley, seorang ahli burung berkebangsaan Inggris.


Sejak pertama kali ditemukan, burung ini diketahui hanya dari satu spesimen yang dikoleksi pada tahun 1873 di Sangihe. Setelah itu, status keberadaan burung ini menjadi misteri selama 125 tahun, bahkan telah dianggap punah hingga ditemukan kembali pada bulan Oktober 1998.


Orang yang menemukan kembali keberadaan burung ini adalah Anius Dadowali, seorang warga Desa Ulung Peliang, Kecamatan Tamako, Kabupaten Sangihe. di sebuah hutan di lembah Gunung Sahendaruman, di sisi selatan pulau Sangihe.



Gambar 7.  Seriwang Sangihe



Di kalangan orang-orang Sangihe, burung ini kurang begitu dikenal sehingga masyarakat setempat tidak memiliki nama lokal untuk menyebutnya. Akhirnya, diputuskanlah nama “Manuk Niu” sebagai nama lokal Seriwang Sangihe. Niu sendiri berasal dari nama kecil Anius Dadowali yang kerap dipanggil Om Niu oleh warga setempat.


Seriwang Sangihe merupakan satu-satunya spesies yang berasal dari genus Eutrichomiyas. Burung pemakan serangga dan invertebrate kecil ini berukuran sedang (hingga 18 cm panjang) dengan warna dominan biru pada bagian kepala hingga ekor dan berwarna putih pada bagian dada. Seriwang Sangihe muda memiliki ekor pendek dengan warna abu-abu.


Sangihe termasuk pulau kecil yang terisolasi di laut Sulawesi dengan luas 91,57 km persegi. Area berhutan di sekitar Gunung Sahendaruman yang menjadi habitat Seriwang Sangihe hanya seluas 550 Hektare. Luas area yang terbatas ini hanya dapat mendukung populasi yang kecil sehingga oleh IUCN, burung endemik yang memiliki daerah sebaran sangat kecil ini dikategorikan kritis (critically endangered).



  1. Gagak Banggai


Gagak Banggai pertamakali dideskripsikan oleh Rothschild dan Hartert tahun 1900 dari dua spesimen burung asal Kepulauan Banggai yang diambil tahun 1884/1885. Sejak saat itu, status burung ini menjadi tanda tanya besar di kalangan peneliti burung.


Sebagian ahli berpendapat bahwa burung ini termasuk anak jenis (ras) dari Gagak Hutan Corvus enca yang populasinya lebih umum di Sulawesi. Namun, peneliti lainnya kurang sependapat dan menganggap sebagai spesies tersendiri karena morfologi dan warnanya yang berbeda dengan Gagak Hutan.


Untuk memastikan kondisi spesies ini, maka dilakukanlah pendataan burung di Kepulauan Banggai pada tahun 1991 dan 1996. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak ada satu ekor pun Gagak Banggai yang ditemukan sehingga peneliti berasumsi bahwa burung ini mungkin telah punah.



Gambar 8. Gagak Banggai



Pada kegiatan survei berikutnya antara tahun 2007-2008 yang didukung oleh Zoological Society for the Conservation of Species and Populations (Jerman), seorang ahli burung Indonesia, M. Indrawan, berhasil menangkap dan mendokumentasikan Gagak Banggai di Pulau Peleng. Dengan demikian, dibutuhkan waktu 123 tahun untuk menemukan Kembali Gagak endemik Kepulauan Banggai ini.


Meski telah ditemukan, hingga tahun 2009, Birdlife International belum mengakui validitas dari Gagak Banggai. Akhirnya, berdasarkan dua sampel yang ditangkap tahun 2007-2008, Pamela C. Rasmussen, seorang curator dari American Museum of Natural History,  mengkonfirmasi validitas dari Gagak Banggai.


Populasi Gagak Banggai diperkirakan hanya tersisa 500 ekor dan terus menurun akibat berkurangnya luasan hutan menjadi lahan budidaya dan permukiman. Oleh sebab itu, IUCN memberi status kritis (critically endangered) untuk Gagak Banggai. Dengan demikian, Gagak Banggai dianggap beresiko mengalami kepunahan secara cepat dalam waktu dekat.



  1. Perkici Buru


Perkici Buru dikenal sebagai salah satu burung paruh bengkok paling misterius di Indonesia. Burung endemik pulau Buru ini belum pernah lagi terlihat sejak pertama kali ditemukan tahun 1921.


Burung ini pertama kali ditemukan oleh Lambertus Johannes Toxopeus, seorang ahli entomologi Belanda kelahiran Tuban, Jawa Timur. Toxopeus adalah seorang guru yang sangat pengalaman di lapangan dan pernah terlibat dalam ekspedisi Archbold di Papua tahun 1938.


Toxopeus mengoleksi tujuh ekor burung yang ditangkap di tepi sungai sebelah barat Dataran Tinggi Rana menggunakan umpan dari buah jeruk. Daerah tersebut berada pada elevasi antara 840-1000 mdpl.


Burung ini kemudian dideskripsikan tahun 1930 oleh Siebers, seorang ahli burung berkebangsaan Belanda dan diberinama Charmosyna toxopei sebagai penghargaan untuk sang penemu.


Pada masa berikutnya, selama bertahun-tahun, berbagai survei telah dilakukan untuk mencari keberadaan Perkici Buru. Namun tak seekor pun yang ditemukan. Besar kemungkinan, populasi burung ini sangat kecil dan terus berkurang akibat habitat yang makin sempit.



Gambar 9. Perkici Buru



Menurut Taxopeus, Perkici Buru memiliki wilayah sebaran sangat terbatas. Bahkan kemungkinan hanya bisa ditemukan di tepi sungai sebelah barat Dataran Tinggi Rana. Sebagian masyarakat yang bermukim di bagian lain dari Pulau Buru bahkan mengaku tidak mengenali burung ini.


Masyarakat setempat menyebut Perkici Buru dengan nama lokal “utu papua”. Adapun nama internasionalnya blue-fronted lorikeet mengacu pada warna kebiruan yang ada pada mahkota bagian depan.


Wilayah persebaran burung ini sangat terbatas, yakni di Pulau Buru. Panjang tubuhnya sekitar 16 cm, berwarna hijau, dengan tubuh bawah lebih kekuningan. Mahkota depan biru, dagu dan tenggorokan hijau-kuning, sedangkan pangkal ekor bagian bawah berwarna merah.


Pencarian intensif terhadap spesies burung ini pernah dilakukan tim dari BirdLife Internasional, melalui Yayasan Burung Indonesia (tahun 1995) di Gunung Kalapat Mada dan Danau Rana.


Selanjutnya, pada 1996, tim tersebut mengembangkan pencarian hingga ke bagian lain Pulau Buru dan Teluk Kayeli. Informasi yang diperoleh saat itu hanya berasal dari laporan dua pemburu. Keduanya mengaku telah menangkap burung yang dimaksud, untuk dijadikan sebagai santapan saat berada di sekitar Danau Rana


Masyarakat yang tinggal di tepi Danau Rana sangat mengenali jenis burung ini. Bahkan menurut mereka, di era 1990-an, burung utu papua mudah dijumpai dan kerap terlihat memakan nektar dan serbuk sari di pohon-pohon berbunga.


Dilaporkan juga, Perkici Buru saat itu kerap terlihat di wilayah pegunungan yang berada di antara desa mereka dan Danau Rana, tidak jauh dari tempat Taxopeus menemukan spesies ini untuk pertama kalinya.


Hingga kini, laporan pengamatan dan perjumpaan dengan burung Perkici Buru sangat minim. Hal ini menyebabkan para ahli sulit memperkirakan populasinya secara tepat.


Namun dari informasi yang dilansir Badan Konservasi Dunia (IUCN), telah mendapatkan gambar dua individu Perkici Buru pada November 2014. Ini menjadi bukti penguat bahwa poulasi Perkici Buru memang sangat kecil.


Sempitnya habitat dan wilayah persebaran Perkici Buru membuat IUCN menetapkannya dalam status Kritis (Critically Endangered – CR).



  1. Berkik Gunung Maluku


Sampel awetan Berkik Gunung Maluku pertama kali diperoleh Heinrich Bernstein dari pulau Obi pada tahun 1862. Sampel ini berupa seekor burung jantan yang dikirim ke Belanda.


Tiga tahun kemudian (1865), Bernstein meninggal dunia di Papua akibat sakit, sebelum sempat mendeskripsikannya. Awetan burung yang ada di museum sejarah alam Leiden tersebut kemudian dideskripsikan dan diberi nama oleh Shlegel tahun 1866 dengan nama Scolopax rochussenii.


Meski telah dideskripsikan dan diberi nama ilmiah, keberadaan Berkik Gunung Maluku masih menjadi misteri. Selama 150 tahun berikutnya hanya didapatkan tambahan 7 spesimen saja. Satu specimen diperoleh dari pulau Bacan tahun 1902 dan enam spesimen dari pulau Obi dimana dua diantaranya diperoleh tahun 1982.


Penelitian berikutnya yang dilakukan tim peneliti berbeda di pulau Obi pada tahun 1989, 1992, 2010 dan 2011 juga gagal menemukan Berkik Gunung. Namun, pada tahun 2013, M. Thibault seorang peneliti Perancis dan timnya melaporkan telah berhasil menemukan kembal Berkik Gunung Maluku di pulau Obi pada tahun 2010 dan berhasil merekam suaranya untuk pertama kalinya.


Diantara 8 spesies Berkik Gunung di dunia, 4 jenis diantaranya ada di Indonesia, yaitu: Berkik Gunung Jawa Scolopax saturata, Berkik Gunung Sulawesi Scolopax celebensis, Berkik Gunung Maluku Scolopax rochussenii dan Berkik Gunung Papua Scolopax rosenbergii.



Gambar 10. Berkik Gunung Maluku



Berkik Gunung Maluku memiliki ukuran tubuh paling besar dalam marga Scolopax dengan panjang 40 cm. Paruhnya panjang berwarna hitam. Tubuh bagian bawah berwarna merah bata bercampur jingga. Sedangkan tubuh bagian atas berwarna sama, namun didominasi loreng-loreng gelap berwarna hitam yang memanjang diagonal ke samping tubuh.


Misteri Berkik Gunung Maluku baru terungkap pada tahun 2013, setelah dilakukan penelitian selama dua bulan oleh tim riset dari Universitas Oxford (Inggris) dan Universitas negeri Louisiana (USA).


Berkik gunung termasuk jenis burung crepuscular yang hanya aktif pada dini hari dan senja hari saat cahaya berada dalam kondisi remang-remang. Eden Cottee-Jones, peneliti Oxford menyatakan bahwa Berkik Gunung Maluku hanya dapat diamati selama 21 menit saat pagi buta dan 13 menit saat hari mulai gelap dari tengah sungai. Inilah sebabnya mengapa burung ini sangat sulit di foto dan diamati.


Temuan mengejutkan lainnya adalah populasi burung ini di pulau Obi yang diperkirakan mencapai 9.500 individu, jauh lebih banyak dari perkiraan para pengamat sebelumnya. Oleh sebab itu, IUCN disarankan untuk menurunkan status burung ini dari terancam punah (endangered) menjadi rentan (vulnerable). Konversi hutan menjadi lahan budidaya dan permukiman dan pertambangan menjadi faktor utama yang mengancam kelestarian burung ini.


Referensi


https://en.wikipedia.org/wiki/R%C3%BCck%27s_blue_flycatcher


http://rejang-lebong.blogspot.com/2008/05/sumatran-ground-cuckoo-rediscovered.html


https://www.mongabay.co.id/2014/01/06/penelitian-populasi-burung-berkik-gunung-maluku-tidak-terancam-punah/


Eden W. Cottee-Jones, Mittermeier, John C. and Redding, David W. The Moluccan Woodcock Scolopax rochussenii on Obi Island, North Moluccas, Indonesia: a ‘lost’ species is less endangered than expected. Forktail 29 (2013): 88–93.


https://en.wikipedia.org/wiki/Blue-fronted_lorikeet


https://omkicau.com/2018/03/09/perkici-buru-parrot-langka-dan-misterius-dari-pulau-buru/


Panji Gusti Akbar, Teguh Willy Nugroho, Muhammad Suranto, Muhammad Rizky Fauzan, Doddy Ferdiansyah, Joko Said Trisiyanto & Ding Li Yong. 2020.  Missing for 170 years—the rediscovery of Black-browed Babbler Malacocincla perspicillata on Borneo. BirdingASIA 34 (2020): 13–14.

❮ PREVIOUS
NEXT ❯
ArtikelinfoduniaFlora dan FaunaFakta UnikInformasi Menarik
+